Senin, 22 Oktober 2007

resensi buku

KEBUTUHAN terhadap pendidikan yang baik hingga mampu meningkatkan kualitas bangsa, mengembangkan karakter, termasuk memberikan keunggulan dan kemampuan berkreasi, kian dirasakan urgensinya.

Otonomi bidang pendidikan memberikan kesempatan dan wewenang untuk melakukan berbagai inovasi dalam pengembangan maupun implementasi kurikulum, pembelajaran, bimbingan siswa, dan manajemen pendidikan. Inovasi yang tepat, dfektif, dan efisien membutuhkan kajian teoretis dan praktis melalui penelitian.

Penelitian memberikan deskripsi, eksplanasi, prediksi, inovasi, dan dasar teoretis bagi pengembangan pendidikan. Mahasiswa di seluruh jenjang harus memiliki pengetahuan, kemampuan, dan komitmen tinggi dalam penelitian. Mereka tidak hanya untuk menyelesaikan studinya, tetapi juga dalam berkiprah di bidang pendidikan setelah menyandang gelar.

Buku berjudul Metode Penelitian Pendidikan yang ditulis Prof Dr Nana Syaodih Sukmadinata memberikan dasar-dasar teori maupun praktik untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan merancang, melaksanakan, selain melaporkan hasil penelitian di bidang pendidikan, kurikulum, serta pembelajaran.

Buku setebal 326 halaman itu terdiri atas 13 bab dengan menguraikan masalah penelitian dan terapannya yang dibahas secara tajam maupun

terinci. Bab 1, misalnya, membahas dasar maupun makna penelitian, karakteristik, dan langkah umum penelitian melalui beragam pendekatan.

Dalam Bab 2, diulas ruang lingkup penelitian pendidikan, mulai dari uraian soal pendidikan sebagai ilmu, interaksi pendidikan, landasan psikologis pendidikan, kurikulum, sampai latihan maupun bimbingan.

Dengan bahasa yang mudah dicerna, buku ini mengangkat pula berbagai metode penelitian dalam lingkup pendidikan. Seperti pada Bab 3 dan 4, isinya tentang konsep penelitian dilihat dari ragam, metode, fungsi, serta karakteristik survei.

Lalu, pembahasannya diarahkan ke item penelitian yang masing-masing dikupas lebih mendalam. Contohnya, penelitian kualitatif, evaluatif, tindakan, penelitian dan pengembangan, dan penelitian eksperimental. Semua dibicarakan di Bab 5 sampai Bab 9.

Sedangkan Bab 10, berbeda. Di sana, terfokus pada teknik pengumpulan data dan pengukurannya. Artinya, bagaimana teknik menghimpun untuk mengukur maupun mengumpulkan data, termasuk bentuk pengumpulan data yang dapat dibentuk dengan melakukan teknik ana1isis.

Setelah mengumpulkan data dan teknik data, perlu ditentukan populasi maupun sampel agar dihasilkan pendekatan kebenarannya. Hal tersebut diulas di Bab 11, yang memaparkan segala teknik dan cara menentukan sampel agar lebih tepat.

Kemudian di Bab 12, dikupas perumusan masalah, metodologi, dan desain penelitian. Titik beratnya pada cara mengidentifikasi maupun memilih masalah, termasuk merumuskan metodologi penelitian.

Pada bab terakhir, diangkat penyusunan proposal penelitian. Ada cara menyusun proposal yang baik dengan melihat tahap penyusunannya. Disinggung pula komponen-komponen utama dalam proposal yang berisi problem, kajian literatur, metodologi, dan penyusunan desain. •

Selasa, 02 Oktober 2007

sekilas tentang validitas

Di dalam ilmu filsafat,intuisi adalah daya dalam menghasilkan pengetahuan
yang tidak bisa diperoleh —apakah melalui kesimpulan ataupun observasi,
melalui penalaran maupun pengalaman. Dengan demikian, intuisi dipandang
sebagai suatu sumber pengetahuan yang orisinil dan independen, sejauh ia
terancang bagi kemanfaatan sejenis pengetahuan tertentu, yang tidak bisa
disediakan oleh sumber-sumber pengetahuan lainnya. Pengetahuan tentang
prinsip-prinsip kesujatian dan moralitas penting terkadang (hanya mungkin)
terpaparkan lewat pengembangan intuisi.

Memang, beberapa bentuk kebenaran —seperti, pernyataan-pernyataan logis
atau matematika— bisa disimpulkan, atau diturunkan secara logis dari
sumber-sumber lain. Akan tetapi, tidak semua pernyataan-pernyataan seperti
itu bisa diturunkan dengan cara yang sama, dimana akan masih ada saja
beberapa pernyataan-pernyataan yang tidak tersimpulkan (aksioma misalnya).
Lebih jauh lagi, karakter saling keterkaian dari sistem seperti itu,
kemampuan untuk menurunkan pernyataan-pernyataan itu dari aksioma-aksioma,
mensyaratkan aturan-aturan penyimpulan. Karena kebenaran dari
aksioma-aksioma dan validitas dari aturan dasar dari penyimpulan tidak
dengan sendirinya bisa ditetapkan dengan kesimpulan —selama kesimpulan
mensyaratkannya— ataupun melalui observasi —yang tidak pernah akan mampu
menetapkan kebenaran-kebenaran yang diperlukan— sementaramereka bisa
dipegang hanya sebagai objek-objek intuisi.

Aksioma-aksioma biasanya hanya merupakan kebenaran-kebenaran yang masih
dapat disangkal; dan sebagai konsekwensinya, pembuktian sendiri merupakan
ciri penting dari intuisi. Untuk “melihat” bahwa pernyataan seseorang dapat
diikuti oleh yang lainnya, atau bahwa suatu kesimpulan tertentu valid
adanya, mungkin seseorang bisa menyelengarakan sejenis “induksi intuitif”
dari validitas semua kesimpulan-kesimpulan sejenis. Kebenaran-kebenaran
nonformal penting lainnya —seperti: “tak ada yang bisa seluruhnya merah dan
hijauh secara bersamaan”— juga dikatakan sebagai induksi-induksi intuitif;
dimana seseorang dapat melihat suatu hubungan universal dan perlu, melalui
contoh khusus seperti itu.

Para filsof moral —sejak Joseph Butler sampai G.E. Moore— berpendirian
bahwa tuntunan-tuntunan moral mencatat sejenis pengetahuan khusus.
Kebenaran dari tindakan-tindakan diungkap lewat suatu derajat moral khusus,
yang tampak sebagai analog dengan daya observasi atau daya mengintuisikan
prinsip-prinsip logis. Teori ini —seperti juga yang memegang
prinsip-prinsip logis sebagai hasil dari intuisi— kasusnya mendasarkan diri
pada pembuktian sendiri dan mendasarkan diri pada karakter yang tak
diragukan lagi dari tuntunan-tuntunan moral seputar hal-hal yang terkait
dengannya.

Banyak argumentasi yangsama yang bisa diketengahkan terhadap kedua teori
tersebut tadi. Aksioma-aksioma logis dan moralitas tidak mengijinkan
penafsiran terhadap satu sumber pengetahuan khusus, sejauh, ia juga tidak
mencatat pengungkapan-pengungkapan; melainkan mencatat resolusi-resolusi
ataupun konvensi-konvensi, prilaku-prilaku yang diadopsi yang terarahkan
pada diskursus dan perbuatan, bukannya fakta-fakta tentang sifat-sifat
dunia ataupun manusia.