Selasa, 02 Oktober 2007

sekilas tentang validitas

Di dalam ilmu filsafat,intuisi adalah daya dalam menghasilkan pengetahuan
yang tidak bisa diperoleh —apakah melalui kesimpulan ataupun observasi,
melalui penalaran maupun pengalaman. Dengan demikian, intuisi dipandang
sebagai suatu sumber pengetahuan yang orisinil dan independen, sejauh ia
terancang bagi kemanfaatan sejenis pengetahuan tertentu, yang tidak bisa
disediakan oleh sumber-sumber pengetahuan lainnya. Pengetahuan tentang
prinsip-prinsip kesujatian dan moralitas penting terkadang (hanya mungkin)
terpaparkan lewat pengembangan intuisi.

Memang, beberapa bentuk kebenaran —seperti, pernyataan-pernyataan logis
atau matematika— bisa disimpulkan, atau diturunkan secara logis dari
sumber-sumber lain. Akan tetapi, tidak semua pernyataan-pernyataan seperti
itu bisa diturunkan dengan cara yang sama, dimana akan masih ada saja
beberapa pernyataan-pernyataan yang tidak tersimpulkan (aksioma misalnya).
Lebih jauh lagi, karakter saling keterkaian dari sistem seperti itu,
kemampuan untuk menurunkan pernyataan-pernyataan itu dari aksioma-aksioma,
mensyaratkan aturan-aturan penyimpulan. Karena kebenaran dari
aksioma-aksioma dan validitas dari aturan dasar dari penyimpulan tidak
dengan sendirinya bisa ditetapkan dengan kesimpulan —selama kesimpulan
mensyaratkannya— ataupun melalui observasi —yang tidak pernah akan mampu
menetapkan kebenaran-kebenaran yang diperlukan— sementaramereka bisa
dipegang hanya sebagai objek-objek intuisi.

Aksioma-aksioma biasanya hanya merupakan kebenaran-kebenaran yang masih
dapat disangkal; dan sebagai konsekwensinya, pembuktian sendiri merupakan
ciri penting dari intuisi. Untuk “melihat” bahwa pernyataan seseorang dapat
diikuti oleh yang lainnya, atau bahwa suatu kesimpulan tertentu valid
adanya, mungkin seseorang bisa menyelengarakan sejenis “induksi intuitif”
dari validitas semua kesimpulan-kesimpulan sejenis. Kebenaran-kebenaran
nonformal penting lainnya —seperti: “tak ada yang bisa seluruhnya merah dan
hijauh secara bersamaan”— juga dikatakan sebagai induksi-induksi intuitif;
dimana seseorang dapat melihat suatu hubungan universal dan perlu, melalui
contoh khusus seperti itu.

Para filsof moral —sejak Joseph Butler sampai G.E. Moore— berpendirian
bahwa tuntunan-tuntunan moral mencatat sejenis pengetahuan khusus.
Kebenaran dari tindakan-tindakan diungkap lewat suatu derajat moral khusus,
yang tampak sebagai analog dengan daya observasi atau daya mengintuisikan
prinsip-prinsip logis. Teori ini —seperti juga yang memegang
prinsip-prinsip logis sebagai hasil dari intuisi— kasusnya mendasarkan diri
pada pembuktian sendiri dan mendasarkan diri pada karakter yang tak
diragukan lagi dari tuntunan-tuntunan moral seputar hal-hal yang terkait
dengannya.

Banyak argumentasi yangsama yang bisa diketengahkan terhadap kedua teori
tersebut tadi. Aksioma-aksioma logis dan moralitas tidak mengijinkan
penafsiran terhadap satu sumber pengetahuan khusus, sejauh, ia juga tidak
mencatat pengungkapan-pengungkapan; melainkan mencatat resolusi-resolusi
ataupun konvensi-konvensi, prilaku-prilaku yang diadopsi yang terarahkan
pada diskursus dan perbuatan, bukannya fakta-fakta tentang sifat-sifat
dunia ataupun manusia.